Oleh: RD. Leo Mali
Sebelum meninggalkan para murid-Nya, Yesus berpesan kepada mereka untuk saling mengasihi sama seperti IA telah mengasihi mereka. (Yohanes 13:31–35)
“Kasihilah seorang akan yang lain, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Yohanes merumuskan perintah ini sebagai perintah baru. Perintah ini bukan hanya sebuah ajaran moral.
Melainkan lebih dari itu, perintah ini adalah sebuah penanda identitas dasar para murid sebagai pengikut Kristus. “semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
Pesan Yesus di atas adalah pesan terakhirNya. Yang IA wariskan kepada mereka adalah perintah yang sudah lebih dahulu IA tunjukkan secara konkret melalui salib.
Di salib, cinta tidak lagi menjadi wacana, tetapi menjadi tindakan penyelamatan.
Cinta seperti inilah yang menjadi dasar historis dari identitas yang membentuk komunitas para murid.
Menurut catatan Kisah para Rasul, di Antiokhia pertama kali para murid disebut orang Kristen. (Kis. 11: 26).
Nama itu diberikan kepada mereka bukan karena kekuasaan, bukan karena kekayaan, bukan karena kehebatan serta pengetahuan teologis yang mereka dapat dari Kristus, melainkan karena oleh kasih Kristus sendiri mereka sanggup untuk saling mengasihi.
Kesaksian para murid lahir dari cinta Kristus yang telah terbukti melalui peristiwa salib.
Salib telah melahirkan keberanian, ketekunan, dan semangat pewartaan mereka. Inilah yang kita lihat dalam bacaan Kisah Para Rasul 14:21b–27.
Paulus dan Barnabas telah mengalami perubahan hidup yang radikal karena sukacita perjumpaan mereka dengan Kristus yang bangkit.
Sukacita itu tidak mereka simpan untuk diri mereka sendiri. Tetapi mereka membagikannya kepada komunitas komunitas baru yang sedang bertumbuh di tengah tantangan dan penganiayaan. Hidup mereka menjadi kisah yang bercerita tentang perbuatan yang dikerjakan Tuhan.
Dengan memberi kesaksian tentang kebaikan Allah bagi mereka, Paulus dan Barnabas menguatkan hati umat, mengajak mereka untuk tetap setia di tengah penderitaan, karena mereka tahu bahwa penderitaan karena iman akan membawa mereka menyerupai Kristus. Keyakinan ini bukan sebuah fatalisme, melainkan sikap iman yang sesungguhnya.
Paulus dan Barnabas mengajarkan bahwa jalan menuju Kerajaan Allah bukan jalan mulus, tetapi jalan salib.
Namun di jalan itu kasih menjadi nyata: kasih yang diterima dari Allah dan dibagi-bagikan kepada sesama yang dilayani dengan segenap hati.
Hal yang paling penting dari pengalaman para rasul itu adalah hidup mereka adalah sebuah kesaksian. Mereka menceritakan dengan tulus semua perbuatan baik yang telah dilakukan Tuhan dalam hidup mereka.
Bahkan hidup mereka menjadi kisah penuh syukur terhadap semua yang dikerjakan Tuhan.
Dalam situasi zaman kita saat ini—di mana orang mudah lelah, putus asa, dan kehilangan makna hidup— kesaksian tentang kebaikan Tuhan menjadi terang yang memecah kegelapan.
Gereja harus terus menjadi ruang di mana kisah-kisah tentang cinta Tuhan diceritakan kembali, diwariskan, dan diperbarui dalam tindakan nyata. Kerapkali bahkan harus lewat berbagai kesulitan dan penderitaan.
Namun penderitaan bukanlah akhir dari segalanya. Bacaan dari Wahyu 21:1– 5a memberikan kita visi penghiburan dan pengharapan yang luar biasa.
Demikian kata Tuhan, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru.” Tuhan membaharui dan memberikan arah bagi sejarah umat manusia.
Semua kesulitan dalam hidup ini punya arti dan nilai karena mengingatkan pertolongan dan penyertaan-Nya.
Ia berjanji akan menghapus segala tangis dan akan akan tinggal bersama umat-Nya. Inilah pengharapan eskatologis yang menguatkan para murid Kristus sepanjang zaman.
Hidup kita punya arah dan nilai. Yang kita sedang tuju adalah langit baru dan bumi baru.
Karena tahu ke mana arah akhir hidup ini maka kita tidak menyerah pada kegelapan. Bahkan kita berani hidup dengan kasih yang radikal—meskipun itu menuntut pengorbanan hidup seperti kisah para Rasul.
Kesetiaan dalam penderitaan dan kasih yang diwujudkan dalam hidup sehari hari menjadi tanda kehadiran Allah di tengah dunia.
Di tengah dunia yang penuh persoalan, kasih yang setia, menjadi kesaksian nyata akan Injil. Kasih seperti ini tidak lahir dari kekuatan manusia semata, tetapi dari perjumpaan yang mendalam dengan Kristus yang bangkit.
Hanya kasih yang bersumber dari salib dan kebangkitanlah yang mampu bertahan dalam badai kehidupan.
Tuhan mengundang kita hari ini untuk mengingat kembali, betapa besar kasihNya kepada kita, kasih yang telah IA tunjukkan melalui salib.
Dengan cara itu kita memperbaharui identitas kita sebagai muridmuridNya. Hendaklah kita saling mengasihi, sama seperti IA telah mengasihi kita. Agar dunia tahu bahwa kita adalah murid-murid-Nya. (bdk.Yoh. 13: 35)***