RD. Leo Mali
Oleh RD. Leo Mali
HARI ini, Gereja memasuki keheningan Jumat Agung—hari ketika langit menjadi kelabu, dan bumi seakan ikut menangis menyaksikan Pencipta hidup disalibkan oleh ciptaan-Nya sendiri.
Namun dalam keheningan dan duka itu, sabdaTuhan menuntun kita kepada kedalaman misteri kasih yang tak terhingga, yang mengubah salib dari simbol kutukan menjadi lambang harapan dan kemenangan.
Kitab Yesaya 52:13–53:12 menyingkapkan kepada kita gambaran seorang Hamba Tuhan yang menderita, “tertikam oleh karena pemberontakan kita, diremukkan oleh karena kejahatan kita” (Yes. 53:5). Sosok Hamba ini bukan pahlawan yang dielu-elukan, melainkan pribadi yang wajah-Nya tidak dikenali, hina dan tak dihiraukan orang.
Namun justru melalui luka-luka-Nya, kita disembuhkan; melalui penderitaan-Nya, kita diperdamaikan dengan Allah. Renungan profetik ini menjadi jendela yang terbuka menuju misteri salib Kristus.
Dalam terang Ibrani 4:14–16 dan 5:7–9, kita mengenal Yesus sebagai Imam Besar yang bukan hanya mempersembahkan korban, melainkan menjadi korban itu sendiri.
Dalam ketaatan-Nya, Ia menanggung keluh dan jerit umat manusia, “dengan ratap dan tangis” di hadapan Bapa.
Ia taat sampai mati, dan dari ketaatan-Nya itu, lahirlah sumber keselamatan bagi semua yang percaya. Bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih-Nya yang setia.
Puncak dari semuanya terungkap dalam kisah sengsara menurut Yohanes 18:1–19:42.
Dalam Injil ini, Yesus tampak tidak sekadar sebagai korban, tetapi sebagai Raja yang agung, yang mengatur segala langkah menuju penggenapan kasih Allah.
Ia tidak lari dari penderitaan, tetapi justru memeluk salib dengan penuh keagungan. “Sudah selesai” (Yoh. 19:30). Kalimat ini bukan ungkapan kekalahan, tetapi deklarasi kemenangan.
Sebab dalam saat kematian itu, selubung Bait Suci terbelah, kuasa dosa dan maut diruntuhkan, dan pintu Firdaus kembali terbuka.
Menariknya, bahkan sejarawan-sejarawan Romawi yang tidak percaya pun mencatat dampak kematian Kristus.
Cornelius Tacitus, dalam Annales (15.44), menyebut bahwa Yesus—pendiri nama Kristen—dihukum mati oleh Pontius Pilatus pada masa pemerintahan Tiberius. Meski disalibkan secara memalukan, kepercayaan kepada-Nya justru menyebar hingga ke Roma.
Plinius Muda dan Suetonius juga mengakui keberadaan komunitas yang menyembah Kristus sebagai Tuhan, meski telah disalibkan.
Dengan kata lain, bahkan bagi dunia sekuler, kematian Kristus bukan penghabisan, tetapi awal dari suatu gerakan yang mengubah sejarah.
Bagi kita sendiri Jumat Agung adalah undangan untuk memandang salib dengan mata iman.
Di atas kayu salib, segala luka dan derita dunia dipeluk oleh Allah sendiri.
Bersama Yesus, derita bukan lagi akhir dari cerita hidup kita, melainkan jalan menuju pemurnian dan penyembuhan.
Dalam salib, Allah tidak menjanjikan hidup bebas dari penderitaan, tetapi Ia hadir di dalamnya.
Ia membuat setiap air mata yang tumpah dari jatuh bangun perjuangan hidup kita menjadi lebih bermakna.
Setiap luka kita telah menjadi pintu kasihNya bagi kita.
Bagi manusia modern yang bergulat dengan keresahan batin, tekanan mental, krisis identitas, dan luka-luka sosial—salib bukan sekadar warisan religius, tetapi juga tanda solidaritas ilahi yang menyentuh.
Ketika hidup terasa absurd, ketika kekerasan dan ketidakadilan merajalela, salib berbicara: “Engkau tidak sendiri.”
Di dalam Kristus yang tergantung di salib, setiap penderitaan manusia menemukan cermin dan penghiburan.
Ia hadir dalam kerapuhan kita. Ia memeluk dunia yang berdarah dan menawarkan cinta yang lebih besar dari luka.
Dari salib, terpancar sinar Paskah. Maka, salib menjadi awal baru, bukan akhir cerita.
Itulah rahasia iman: ketika manusia menyangka segalanya telah berakhir, Tuhan justru memulai sesuatu yang baru.
Ketika harapan manusia runtuh, harapan ilahi bersinar—Roh Kudus berkarya dalam hati yang terbuka, menerangi, menghibur, dan membarui dunia.
Di dalam salib, kita belajar bahwa ketaatan kepada Allah tidak selalu mudah, namun selalu membawa buah keselamatan. Karena itu kita dipanggil untuk memikul salib kita setiap hari.
Setiap orang punya salib masing-masing. Tapi sebagaimana Kristus telah memikul salib-Nya, kitapun dipanggil untuk setia memikulnya.
Hari ini, kita merenung di bawah kaki salib. Kita melihat wajah Yesus yang berdarah namun penuh kasih.
Kita menyerahkan luka-luka hidup kita kepada-Nya, karena Dia telah memikul semua beban kita. Dan pada salib, kita menemukan arti
penderitaan yang melahirkan kekuatan yang tak akan pernah berakhir. Karena itu,
bagi orang-orang Yahudi salib adalah tanda penghinaan. Bagi orang-orang Yunani, salib adalah tanda kebodohan. Tetapi bagi kita orang-orang Kristen, salib adalah tanda kemenangan.
Sebab di dalam Kristus yang disalibkan, kita percaya: kasih selalu lebih besar dari pada maut ***
KOTA KUPANG,DELEGASI.NET - Wali Kota Kupang, dr. Christian Widodo, menerima audiensi dari para Kepala Satuan…
VATIKAN,DELEGASI.NET- Vatikan mulai mempersiapkan Kapel Sistina untuk konklaf, yang akan dimulai tanggal 7 Mei 2025.…
KUPANG,DELEGASI.NET - Wakil Gubernur NTT Johni Asadoma berkesempatan menghadiri Rapat Terbuka Senat Univesitas Kristen Artha…
KUPANG,DELEGASI.BET - Gubernur NTT, Melki Laka Lena mengatakan, saat ini kita sudah ada pada situasi…
MAUMERE,DELEGASI.NET - Perjuangan panjang masyarakat Tana Wawo akan hadirnya sebuah SMP Negeri di wilayah itu…
MAUMERE,DELEGASI.NET- Hendrik Putra Winata, terpidana kasus penganiayaan akhirnya dieksekusi Kejaksaan Negeri Sikka, Jumat (2/5) siang.…