Oleh RD.Patris Alegro
MARI kita bersama merenungkan kedalaman makna wafatnya Uskup Agung Emeritus Kupang, Mgr. Petrus Turang, dengan motto “Pertransiit benefaciendo” (“Ia berlalu sambil berbuat baik” – Kis 10:38),
1. Kematian sebagai Penyempurnaan “Pertransiit Benefaciendo”
Motto Mgr. Turang merujuk pada hidup Yesus yang “berjalan berbuat baik” hingga kematian-Nya. Dalam terang iman Katolik:
* Kematian adalah akhir perjalanan duniawi, tetapi awal persatuan dengan Kristus. Seperti Yesus yang “telah menyelesaikan karya yang Bapa berikan kepada-Nya” (Yoh 17:4), Mgr. Turang telah menyelesaikan tugas penggembalaannya.
* Kesetiaan pada kebenaran (sifat tegas & blak-blakannya) mencerminkan kesaksian iman (martirion), meski bukan martir darah.
* Kelembutan dalam relasi menunjukkan caritas (kasih Kristiani), yang adalah hukum tertinggi (1 Kor 13:13).
Kematiannya mengingatkan bahwa kesetiaan pada kebenaran dan kasih harus berjalan bersama, sebagaimana hidup Kristus.

2. Jiwa yang Abadi dan Tubuh yang Fana
Menurut St. Thomas Aquinas:
* Manusia adalah “jiwa yang menghidupkan tubuh” (anima forma corporis). Kematian Mgr. Turang adalah perpisahan sementara jiwa dari tubuh, tetapi bukan kehancuran total.
* Jiwa rasional (anima intellectiva) bersifat abadi karena mampu mengenal kebenaran universal (seperti kebaikan, keadilan, dan Allah). Sifat tegas Mgr. Turang dalam kebenaran adalah ekspresi jiwa rasional yang mencari Bonum Verum (Kebaikan dan Kebenaran Objektif).
* Tubuh akan dibangkitkan pada akhir zaman—sehingga penghormatan pada jenazahnya adalah pengakuan akan martabat tubuh sebagai bagian dari pribadi.
Kematian bukanlah akhir, melainkan transisi menuju kepenuhan hidup dalam Allah.
3. Martabat Pribadi dan Relasi yang Menguduskan
Mgr. Turang dikenal tegas dalam prinsip tetapi lembut dalam relasi. Ini selaras dengan personalisme Katolik (seperti pemikiran St. Yohanes Paulus II):
* Setiap pribadi unik dan bernilai mutlak karena diciptakan secara imago Dei (gambar Allah). Ketegasannya adalah bentuk penghormatan pada kebenaran objektif, sementara kelembutannya adalah pengakuan akan martabat pribadi orang lain.
* Relasi yang menguduskan: Kepemimpinannya bukan sekadar administratif, tetapi pelayanan kasih yang membentuk komunio (persekutuan).
Pesan bagi Gereja Kupang:
Warisan terbesarnya bukan hanya kebijakan pastoral, tetapi teladan sebagai “pribadi yang utuh”—berintegritas dalam kebenaran dan berbelas kasih dalam relasi.
Peristiwa berpulangnya Mgr. Turang mengajar dan menegaskan kepada kita semua tiga hal berikut:
1. Iman Katolik → Kematiannya adalah pemenuhan motto hidupnya: “Pertransiit benefaciendo”, kini ia berjumpa dengan Kristus, Sang Gembala Agung.
2. Metafisika Thomistik → Jiwa abadinya kini dalam tangan Allah, menantikan kebangkitan tubuh.
3. Personalisme → Ketegasan & kelembutannya meninggalkan jejak pribadi yang otentik, menginspirasi umat untuk hidup dalam kebenaran & kasih.
Ajaran Hidup dari Kepergian Sang Gembala
* Bagi yang berduka: Jangan berhenti pada kesedihan, tetapi hiduplah seperti dia—berpegang pada kebenaran dan berbelas kasih.
* Bagi Gereja Kupang: Teruskan semangatnya dengan setia pada iman dan giat dalam pelayanan.
* Bagi Mgr. Turang sendiri: “Requiem aeternam dona ei, Domine” (Semoga Tuhan menganugerahinya istirahat kekal).
“Kematian seorang uskup bukanlah akhir karyanya, melainkan awal penggenapannya dalam Tuhan.” **