Merobek Tirai Keputusasaan: Saatnya Bertindak untuk Mereka yang Terpinggirkan

“Kemiskinan ekstrem bukanlah sekadar angka statistik. Di baliknya, tersembunyi kisah-kisah pilu tentang keluarga yang harus memilih antara mengisi perut atau menyekolahkan anak, tentang generasi muda yang tumbuh tanpa gizi memadai dan akses pendidikan yang layak, tentang harapan yang pupus ditelan kerasnya kenyataan,”

Jeni Matelda Ataupah,S.Sos.,M.Si Dosen Prodi Sosiologi

Di tengah gemerlap kemajuan dan hiruk pikuk pembangunan, sebuah realitas pahit masih menganga lebar di hadapan kita: kemiskinan ekstrem.

Bukan sekadar kekurangan materi, melainkan sebuah jurang keputusasaan yang melilit kehidupan jutaan saudara sebangsa. Mereka yang terpinggirkan, terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan, seringkali tak terlihat, suaranya teredam oleh hingar bingar kehidupan yang serba berkecukupan.

Namun, mengabaikan mereka sama dengan membiarkan bara ketidakadilan terus membakar fondasi kemanusiaan kita. Opini ini hadir sebagai seruan lantang, sebuah ajakan untuk merobek tirai keputusasaan yang menyelimuti mereka, dan bergerak bersama dalam tindakan nyata.

Kemiskinan ekstrem bukanlah sekadar angka statistik. Di baliknya, tersembunyi kisah-kisah pilu tentang keluarga yang harus memilih antara mengisi perut atau menyekolahkan anak, tentang generasi muda yang tumbuh tanpa gizi memadai dan akses pendidikan yang layak, tentang harapan yang pupus ditelan kerasnya kenyataan.

Mereka adalah bagian dari kita, memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat, untuk meraih mimpi, dan untuk berkontribusi bagi bangsa.

Membiarkan mereka terus berjuang sendirian adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur yang kita junjung tinggi.

Data menjadi landasan penting untuk memahami betapa mendesaknya persoalan ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2024, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia mencapai 5,69 juta jiwa atau 2,06% dari total penduduk.

Angka ini memang menunjukkan penurunan dibandingkan periode sebelumnya, namun tetap menjadi alarm bagi kita semua.

Di balik angka nasional, terdapat disparitas yang mencolok antar wilayah. Provinsi dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi masih didominasi oleh wilayah timur Indonesia, yang menunjukkan adanya ketidakmerataan pembangunan dan akses terhadap sumber daya.

Lebih jauh lagi, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa kemiskinan ekstrem tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia.

Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan ekstrem berisiko tinggi mengalami stunting, yang dapat menghambat perkembangan kognitif dan fisik mereka. Akses terbatas terhadap sanitasi dan air bersih juga meningkatkan risiko penyakit menular, yang semakin memperburuk kondisi kesehatan dan ekonomi keluarga miskin.

Mengapa kemiskinan ekstrem begitu sulit diurai? Akar permasalahannya sangat kompleks dan saling terkait. Ketimpangan ekonomi yang kian melebar menjadi salah satu faktor utama. Konsentrasi kekayaan pada segelintir orang berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas masyarakat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang memadai juga menjadi barang mewah bagi mereka yang terpinggirkan.

Keterbatasan infrastruktur di wilayah-wilayah terpencil semakin memperparah isolasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Selain itu, faktor-faktor struktural seperti kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat miskin, praktik korupsi yang merajalela, dan lemahnya penegakan hukum juga turut berkontribusi pada langgengnya kemiskinan ekstrem.

Bantuan sosial yang diberikan seringkali bersifat tambal sulam dan tidak menyentuh akar permasalahan. Pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin melalui pelatihan keterampilan dan akses permodalan seringkali belum optimal dan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Kita tidak bisa lagi hanya beretorika tentang kemiskinan. Saatnya untuk menggeser paradigma dari sekadar memberikan bantuan menjadi pemberdayaan yang berkelanjutan.

Kita perlu merancang kebijakan yang inklusif, yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berkembang dan meraih kesejahteraan.

Investasi pada pendidikan dan kesehatan, terutama di wilayah-wilayah tertinggal, adalah kunci untuk memutus siklus kemiskinan antargenerasi.

Pemerintah memiliki peran sentral dalam mengkoordinasikan upaya pengentasan kemiskinan ekstrem. Namun, tanggung jawab ini tidak hanya terletak di pundak pemerintah semata.

Sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan setiap individu memiliki peran penting untuk dimainkan. Kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menciptakan solusi yang komprehensif dan efektif.

Langkah-langkah konkret perlu segera diimplementasikan untuk merobek tirai keputusasaan dan memberikan harapan baru bagi mereka yang terpinggirkan.

Pertama, penguatan program perlindungan sosial yang tepat sasaran dan terintegrasi. Bantuan sosial tunai harus didampingi dengan program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, dan akses permodalan mikro.

Data penerima bantuan harus terus diperbarui dan diverifikasi untuk memastikan tidak ada kebocoran dan semua yang berhak menerima manfaat.

Kedua, investasi besar-besaran pada pendidikan dan kesehatan, terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi. Pembangunan sekolah dan fasilitas kesehatan yang memadai, penyediaan tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkualitas, serta pemberian beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin adalah langkah-langkah krusial. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan adanya kesenjangan kualitas pendidikan yang signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Upaya pemerataan akses dan peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas utama.

Ketiga, pembangunan infrastruktur yang merata hingga ke pelosok negeri. Akses terhadap jalan yang layak, listrik, air bersih, dan jaringan internet bukan hanya mempermudah mobilitas dan komunikasi, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat di wilayah terpencil. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan masih banyak wilayah yang belum terjangkau infrastruktur dasar.

Keempat, penciptaan lapangan kerja yang layak dengan upah yang adil. Pemerintah perlu mendorong investasi yang menciptakan lapangan kerja berkualitas, memberikan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, dan melindungi hak-hak pekerja. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat pengangguran terbuka yang masih cukup tinggi, terutama di kalangan usia muda.

Kelima, pemberantasan korupsi secara tegas dan konsisten. Korupsi telah terbukti menjadi penghambat utama pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penegakan hukum yang kuat dan transparan adalah prasyarat mutlak untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif.

Merobek tirai keputusasaan bukanlah tugas yang mudah dan instan. Dibutuhkan komitmen yang kuat, kerja keras, dan kolaborasi dari seluruh elemen bangsa. Kita tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan.

Setiap detik penundaan berarti semakin banyak saudara kita yang terperangkap dalam jurang kemiskinan ekstrem, semakin banyak potensi anak bangsa yang terbuang sia-sia.

Saatnya untuk bergerak melampaui retorika dan janji-janji manis. Saatnya untuk menunjukkan empati dan solidaritas yang nyata kepada mereka yang terpinggirkan.

Saatnya untuk mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada kaum lemah dan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Mari kita jadikan momentum ini sebagai titik balik dalam upaya pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Mari kita bergandengan tangan, merajut harapan, dan membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh anak bangsa. Ingatlah, kemajuan sebuah bangsa diukur bukan hanya dari gedung-gedung pencakar langit atau pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling lemah. Inilah saatnya kita membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan peduli terhadap sesamanya.

Tindakan nyata kita hari ini akan menentukan nasib jutaan saudara kita di masa depan. Jangan biarkan tirai keputusasaan terus menggelayuti kehidupan mereka. Saatnya bertindak! **

Penulis adalah Dosen Prodi Sosiologi Universitas Nusa Cendana

Komentar ANDA?

Penulis Delegasi

Recent Posts

Gubernur Melki Laka Lena Buka PEPARPEDA III Tahun 2025 Provinsi NTT

Gubernur Melki Laka Lena Buka PEPARPEDA III Tahun 2025 Provinsi NTT KUPANG,DELEGASI.NET -Gubernur NTT, Emanuel…

8 jam ago

NTT Kaya Komoditas tapi Kurang Produksi, Gubernur Melki Tekankan Kerja Nyata Demokrat Usai Diskusi

KUPANG - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, menghadiri kegiatan bertajuk “Konsep…

8 jam ago

Stevi Harman Minta Kementerian PPPA Libatkan Mitra Sosial dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan di NTT

JAKARTA,DELEGASI.NET - Penanganan kasus Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) perlu…

19 jam ago

Kardinal Parolin: Pembicaraan di Istanbul Membuka Jalan Perdamaian

VATIKAN,DELEGASI.NET- Di sela-sela acara diskusi tentang Ukraina di Universitas Kepausan Gregorian,Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal Pietro…

2 hari ago

Polres Sikka Serius Berantas Aksi Premanisme

MAUMERE,DELEGASI.NET - Polres Sikka bakal menggelar Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) selama dua minggu ke depan,…

2 hari ago

RUPS LB Bank NTT Usulkan Dua Nama Jadi Dirut, Gubernur Melki: Tidak Ada Politisi dan Birokrat!

KUPANG- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa Bank NTT tahun 2025, Rabu (15/5), berlangsung…

2 hari ago