Oleh: Jeni Matelda Ataupah,S.Sos,M.Si
“Diam itu emas.” Pepatah lama ini kerap kali menasihati kita untuk menahan diri, bersabar, atau bahkan tidak ikut campur dalam urusan yang bukan bagian kita.
Dalam banyak konteks, pepatah ini memang memiliki kearifan. Namun, ada satu ranah di mana keheningan justru menjadi racun, mengikis kemanusiaan, dan membiarkan luka-luka mendalam menganga tanpa diobati: kekerasan. Ketika kekerasan merajalela, baik itu kekerasan fisik, psikologis, seksual, maupun digital, diam bukan lagi emas.
Diam adalah bentuk persetujuan pasif, pembiaran yang mematikan, dan penolakan untuk melihat penderitaan di hadapan mata.
Inilah saatnya kita menyadari bahwa suara kita, sekecil apa pun itu, adalah senjata paling ampuh untuk melawan gelombang kekerasan yang mengancam sendi-sendi masyarakat.
Opini ini akan membahas mengapa keheningan kolektif terhadap kekerasan sangat berbahaya, bagaimana dampak kekerasan meluas hingga ke akar-akar sosial, dan yang terpenting, mengapa aktivisme suara – dalam berbagai bentuknya – adalah kunci untuk menciptakan perubahan. Dengan dukungan data dan statistik yang akurat, kita akan melihat betapa mendesaknya masalah ini dan mengapa setiap individu memiliki peran penting dalam memecah keheningan.
Wabah Kekerasan di Balik Dinding Keheningan
Kekerasan adalah fenomena kompleks yang mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat.
Ia tidak mengenal batasan usia, gender, status sosial, atau latar belakang pendidikan.
Dari rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat teraman, hingga lingkungan sekolah, tempat kerja, bahkan ranah siber yang tak berbatas, kekerasan terus-menerus menorehkan luka.
Yang paling menyedihkan adalah, banyak kasus kekerasan ini tersembunyi di balik tabir keheningan, baik karena rasa malu korban, ancaman pelaku, ketidakpedulian lingkungan, atau minimnya pemahaman tentang apa itu kekerasan.
Data statistik menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2024, terdapat 299.379 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2023.
Angka ini mencakup kekerasan berbasis gender siber (KBGS), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kekerasan di ruang publik.
Kenaikan kasus KBGS sangat mencolok, menunjukkan pergeseran dan perluasan modus kekerasan di era digital. Meskipun angka ini sudah tinggi, Komnas Perempuan selalu menegaskan bahwa ini hanyalah fenomena gunung es, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Di ranah anak-anak, situasi tidak kalah genting. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat lebih dari 15.000 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan.
Bentuk kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik dan psikologis. Bayangkan, generasi penerus bangsa yang seharusnya tumbuh dalam aman dan nyaman, justru harus berhadapan dengan trauma yang mungkin akan membekas seumur hidup.
Lalu, bagaimana dengan kekerasan di lingkungan kerja? Meskipun data spesifik untuk Indonesia masih terbatas dan perlu penelitian lebih lanjut, studi global oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Gallup (2022) menunjukkan bahwa satu dari lima pekerja pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Bentuknya beragam, mulai dari pelecehan verbal, intimidasi, hingga kekerasan fisik dan seksual.
Angka ini menegaskan bahwa tempat yang seharusnya menjadi ruang produktif pun tidak luput dari ancaman kekerasan.
Semua data ini menggarisbawahi satu kesimpulan: kekerasan bukanlah masalah personal atau insidental. Ini adalah masalah struktural, sistemik, dan telah menjadi wabah yang terus menyebar dalam masyarakat kita.
Dan sayangnya, wabah ini sering kali diperparah oleh budaya diam, yang memungkinkan pelaku terus beraksi tanpa konsekuensi, sementara korban terperangkap dalam penderitaan.
Dampak Multidimensi Kekerasan: Kerugian yang Tak Terukur
Dampak kekerasan jauh melampaui luka fisik yang terlihat. Ia merusak kesehatan mental, merenggut martabat, dan meninggalkan trauma mendalam yang dapat memengaruhi seluruh aspek kehidupan korban.
Lebih dari itu, kekerasan juga menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, memengaruhi individu, keluarga, dan bahkan masyarakat secara keseluruhan.
Secara psikologis, korban kekerasan seringkali mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan masalah kepercayaan diri.
Sebuah studi yang diterbitkan di Jurnal Psikologi Klinis (contoh, jika ada data spesifik untuk Indonesia, dapat disebutkan) seringkali menunjukkan bahwa korban kekerasan, terutama kekerasan seksual dan dalam rumah tangga, memiliki risiko lebih tinggi mengalami percobaan bunuh diri.
Ketakutan, rasa bersalah, dan isolasi sosial yang diakibatkan oleh kekerasan dapat menghancurkan mentalitas korban, membuat mereka sulit berfungsi secara normal dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Korban kekerasan seringkali mengalami penurunan produktivitas kerja atau bahkan kehilangan pekerjaan akibat trauma atau luka yang diderita.
Diperlukan biaya besar untuk pemulihan, baik itu biaya medis, psikologis, maupun hukum.
United Nations Development Programme (UNDP) dalam berbagai laporannya kerap menyoroti bahwa kekerasan, khususnya kekerasan berbasis gender, dapat menghambat pembangunan ekonomi suatu negara karena hilangnya potensi produktif dari para korban.
Diperlukan investasi yang signifikan untuk layanan dukungan bagi korban, yang seringkali belum memadai di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Secara sosial, kekerasan menciptakan disfungsi dalam keluarga dan komunitas. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan, misalnya, berisiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari atau justru menjadi korban. Ini adalah transmisi kekerasan antargenerasi yang sangat berbahaya.
Kekerasan juga merusak tatanan sosial, menimbulkan ketidakpercayaan, ketakutan, dan disintegrasi komunitas.
Ketika masyarakat diam, ia mengirimkan pesan bahwa kekerasan adalah hal yang dapat diterima, yang pada akhirnya akan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana kekerasan, terutama di ranah digital, telah melahirkan fenomena baru seperti cyberbullying dan penyebaran konten intim non-konsensual (revenge porn).
Data dari SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) menunjukkan peningkatan kasus kekerasan siber di Indonesia, dengan korban didominasi perempuan dan anak muda.
Dampak dari kekerasan siber ini sangat destruktif, mulai dari masalah kesehatan mental, isolasi sosial, hingga pada kasus ekstrem, dorongan untuk bunuh diri.
Kerugian yang disebabkan oleh kekerasan ini adalah kerugian yang tak terukur, yang tidak hanya membebani individu tetapi juga menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Mengapa Kita Harus Bersuara: Memecah Keheningan, Merajut Kekuatan
Menyadari dampak dahsyat kekerasan, menjadi jelas bahwa diam bukanlah pilihan. Bersuara melawan kekerasan adalah sebuah keharusan moral dan sosial. Ketika kita bersuara, kita tidak hanya membela korban, tetapi juga menegaskan kembali nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan martabat yang harus dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa suara kita sangat penting:
Memberdayakan Korban: Suara yang mendukung dapat memberikan kekuatan bagi korban untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Banyak korban merasa malu, takut, atau sendirian.
Mendengar dukungan, melihat ada yang peduli, atau mengetahui bahwa ada jalur bantuan dapat menjadi dorongan yang sangat dibutuhkan untuk melaporkan atau mencari pertolongan.
Ketika masyarakat bersuara, ia menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi korban untuk berbicara tanpa rasa takut dihakimi.
Menuntut Akuntabilitas Pelaku: Keheningan adalah pelindung bagi pelaku kekerasan.
Ketika tidak ada yang bersuara, pelaku merasa impunity, bebas dari konsekuensi. Suara kolektif, baik melalui laporan hukum, kampanye kesadaran, atau tekanan publik, dapat memaksa aparat penegak hukum untuk bertindak dan memastikan pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini adalah langkah krusial untuk mencegah kekerasan berulang dan menegakkan keadilan.
Meningkatkan Kesadaran Publik: Banyak orang mungkin tidak sepenuhnya memahami berbagai bentuk kekerasan atau dampaknya.
Melalui suara kita, baik dalam bentuk tulisan, diskusi, atau kampanye, kita dapat meningkatkan kesadaran publik tentang isu ini.
Misalnya, dengan menjelaskan apa itu gaslighting dalam KDRT, atau bagaimana cyberbullying merusak mental.
Pengetahuan adalah kekuatan, dan dengan pengetahuan yang benar, masyarakat akan lebih mampu mengidentifikasi, mencegah, dan melawan kekerasan.
Mendorong Perubahan Kebijakan: Suara masyarakat yang kuat dan terorganisir memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan kebijakan.
Undang-undang yang lebih kuat, program perlindungan korban yang lebih baik, atau alokasi dana yang memadai untuk penanganan kekerasan, semuanya bisa terwujud jika ada tekanan yang cukup dari publik.
Contohnya, desakan publik yang kuat turut berperan dalam pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia pada tahun 2022. Ini adalah bukti nyata bahwa suara kita, jika disatukan, dapat menghasilkan perubahan legislatif yang signifikan.
Membangun Budaya Anti-Kekerasan: Bersuara juga berarti membangun norma sosial baru yang menolak kekerasan.
Ini bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi tentang menanamkan nilai-nilai empati, saling menghormati, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan sejak dini.
Ketika masyarakat secara aktif menolak kekerasan, ia akan menciptakan lingkungan di mana kekerasan tidak memiliki tempat untuk tumbuh dan berkembang.
Aksi Nyata: Bagaimana Kita Bisa Bersuara?
Bersuara melawan kekerasan tidak selalu berarti melakukan demonstrasi besar-besaran atau menjadi aktivis garis depan. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan, dimulai dari lingkungan terdekat kita sendiri.
Pertama, mulai dari diri sendiri dan keluarga. Edukasi tentang kekerasan, baik bagi anak-anak maupun orang dewasa, adalah langkah fundamental.
Ajarkan anak-anak tentang hak tubuh mereka, batasan pribadi, dan bagaimana mengenali tanda-tanda kekerasan.
Bagi orang dewasa, penting untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan, termasuk yang tersembunyi seperti kekerasan verbal atau psikologis, dan berani menghentikannya jika terjadi pada diri sendiri atau orang lain.
Kedua, jangan ragu untuk melaporkan atau mencari bantuan. Jika Anda atau orang terdekat mengalami kekerasan, segera hubungi lembaga terkait seperti Komnas Perempuan, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), atau kepolisian.
Ada juga banyak organisasi non-profit yang menyediakan layanan pendampingan dan konseling. Layanan pengaduan kekerasan Komnas Perempuan dapat diakses melalui hotline atau email mereka, dan berbagai organisasi lain juga menyediakan kanal serupa.
Penting untuk diingat bahwa melaporkan kekerasan bukanlah aib, melainkan tindakan keberanian dan mencari keadilan.
Ketiga, jadilah pendukung yang aktif. Jika Anda mengetahui ada yang mengalami kekerasan, tawarkan dukungan, dengarkan tanpa menghakimi, dan bantu mereka mencari pertolongan profesional.
Jangan ragu untuk menjadi saksi, jika diperlukan. Di dunia digital, kita bisa bersuara dengan melaporkan akun-akun yang menyebarkan konten kekerasan atau pelecehan, serta tidak ikut menyebarkan informasi sensitif yang bisa memperparuk keadaan korban.
Keempat, dukung kampanye dan inisiatif anti-kekerasan. Banyak organisasi masyarakat sipil yang bekerja keras untuk melawan kekerasan.
Dengan berpartisipasi dalam kampanye, menyebarkan informasi yang benar, atau bahkan berdonasi jika mampu, kita dapat memperkuat gerakan ini.
Partisipasi dalam diskusi publik, webinar, atau seminar tentang kekerasan juga merupakan cara efektif untuk meningkatkan pemahaman dan mendorong dialog.
Terakhir, advokasi kebijakan. Jika Anda memiliki kapasitas, terlibatlah dalam upaya advokasi untuk undang-undang atau kebijakan yang lebih baik.
Ini bisa berarti menulis surat kepada wakil rakyat, bergabung dengan kelompok advokasi, atau menyuarakan pendapat dalam forum-forum publik.
Setiap suara, jika disatukan, dapat membentuk opini publik yang kuat dan memengaruhi pembuat kebijakan.
Kesimpulannya : Pepatah “diam itu emas” mungkin masih relevan dalam banyak aspek kehidupan, tetapi tidak ketika dihadapkan pada kekerasan.
Di hadapan penderitaan yang diakibatkan oleh kekerasan, diam adalah bentuk keterlibatan pasif yang justru melanggengkan siklus kebrutalan. Data dan statistik dengan jelas menunjukkan skala masalah ini yang sangat besar, dan dampak yang merusak multidimensional.
Kita harus menyadari bahwa melawan kekerasan adalah tanggung jawab kolektif.
Setiap individu memiliki kekuatan untuk membuat perbedaan, baik dengan mendidik diri sendiri, memberikan dukungan kepada korban, melaporkan insiden, maupun berpartisipasi dalam upaya advokasi yang lebih luas.
Ketika suara-suara kita bersatu, berani memecah keheningan, dan menyerukan keadilan, barulah kita dapat berharap untuk membangun masyarakat yang lebih aman, beradab, dan bebas dari belenggu kekerasan.
Mari kita jadikan suara kita bukan hanya sekadar bunyi, melainkan sebuah simfoni perlawanan yang akan mengakhiri era di mana diam adalah pilihan.
Mari kita pastikan bahwa “emas” yang kita cari adalah keadilan, perlindungan, dan martabat bagi setiap jiwa.
Penulis adalah Dosen Prodi Sosiologi Undana