Ketidaktahuan Hukum, Dapatkah Membatalkan Hukum?

Oleh: Vitalis Burhanus

PERTANYAAN ini saya dapatkan dari seorang sahabat yang tidak berlatar belakang hukum. Saya mencoba menjawabnya seturut pengetahuan saya sebagai praktisi hukum, sekaligus sebagai bentuk edukasi hukum sederhana kepada masyarakat.

Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem civil law, yang menekankan pada prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum ini terwujud dalam bentuk Undang-Undang (UU) yang dikodifikasi. Secara teoritis dan yuridis, proses pembentukan UU harus melalui berbagai tahapan, salah satunya adalah penerapan asas transparansi, agar masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Maka, sebuah produk hukum yang disusun tanpa keterbukaan publik berpotensi mengalami cacat prosedural. Di era reformasi ini, sebagian besar produk UU memang telah mengikuti mekanisme transparan secara formal, meskipun secara substansi masih banyak yang dinilai belum adil oleh sebagian elemen masyarakat. Salah satu contoh adalah revisi UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 yang mengubah UU Nomor 34 Tahun 2004.

Namun demikian, setelah suatu UU disahkan dan diundangkan, maka secara hukum UU tersebut mengikat secara umum. Dalam ilmu perundang-undangan, dikenal prinsip fiksi hukum (legal fiction), yaitu anggapan bahwa setiap orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure). Dengan kata lain, ketidaktahuan seseorang terhadap suatu peraturan bukan alasan yang sah untuk menghindari konsekuensi hukum.

Ada adagium Latin yang berbunyi: Ignorantia juris non excusat — “ketidaktahuan terhadap hukum tidak dapat dimaafkan.” Maka, jika seseorang beralasan “tidak tahu” terhadap suatu peraturan yang sudah lama berlaku, seperti KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981) atau Perda Manggarai Timur Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penertiban Hewan Penular Rabies, maka dalih itu tidak membebaskannya dari sanksi hukum.

Namun, berbeda halnya apabila seseorang melakukan tindakan yang belum diatur atau tidak dilarang dalam UU. Dalam hukum pidana dikenal asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali — “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan yang mendahului”. Asas ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.”

Dalam konteks ketatanegaraan, teori pemisahan kekuasaan atau Trias Politica yang dicetuskan John Locke dan dikembangkan oleh Montesquieu (1748), masih relevan hingga kini. Teori ini membagi kekuasaan negara menjadi tiga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fungsi legislasi menjadi domain utama DPR atau parlemen. Namun dalam praktik di Indonesia, kekuasaan legislatif tidak bersifat mutlak, karena eksekutif juga memiliki wewenang membuat regulasi dalam kondisi tertentu, misalnya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Dengan demikian, peran DPR sebagai lembaga legislatif sangat strategis dalam menciptakan ketertiban dan keadilan sosial melalui produk hukum. Setelah suatu UU diundangkan, semua warga negara—tanpa terkecuali—wajib mematuhinya, terlepas dari suka atau tidak suka.

Bila seseorang merasa dirugikan oleh keberlakuan suatu UU, maka tersedia mekanisme hukum untuk menggugat atau menguji substansi UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi (MK), dan untuk peraturan daerah (Perda), melalui Mahkamah Agung (MA). Artinya, UU tidak bisa serta-merta dibatalkan hanya karena dalih pribadi seperti tidak tahu atau merasa tidak setuju.

Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika kita tidak paham hukum, bertanyalah pada yang paham dan berkompeten. Jangan justru sok tahu yang akhirnya merugikan diri sendiri. Pepatah mengatakan, “malu bertanya sesat di jalan.” Dalam dunia hukum, sesat bisa berujung pidana. ***

Penulis:

Alumni Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Tahun 2006,

Alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) UNDANA Tahun 2019, Anggota PERADI Ruteng.

Komentar ANDA?

Penulis Delegasi

Recent Posts

Polemik Geotermal di Flores, Gubernur Melki Ingatkan Cari Solusi Tebaik Tanpa Harus Berantam

KUPANG,DELEGASI.NET - Gubernur NTT, Melki Laka Lena, tetap komit pada sikap tegasnya; menghormati penolakan warga…

15 jam ago

Gubernur NTT Pimpin Rapat Pembahasan Proposal KPBU Pembangunan Infrastruktur TIK dan Digitalisasi Terintegrasi oleh PT. PLN Icon Plus

KUPANG,DELEGASI.NET - Gubernur NTT, Melki Laka Lena didampingi Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma memimpin Rapat…

15 jam ago

Gubernur Melki Hadiri Perayaan 25 Tahun Hidup Membiara Tujuh Suster RVM

KUPANG, DELEGASI.NEI - Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena menghadiri Perayaan Ekaristi Syukur…

15 jam ago

Gubernur Melki Audiensi Bersama Investor Korsel, Bahas Potensi Energi Terbarukan di Sektor Kelautan

KUPANG, DELEGASI.NET - Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena didampingi Kepala Biro Perekonomian dan Administrasi…

16 jam ago

RAKERDA Pemuda Katolik KOMDA NTT, Wagub NTT Dorong Kemandirian Kader Melalui Ekonomi Kreatif

KUPANG, DELEGASI.NET - Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma membuka Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Pemuda Katolik…

22 jam ago

Sukses di Paskibraka Nasional, Anak Penjual Jagung Bakar Dapat Rp 50 Juta dari Presiden

MAUMERE,DELEGASI.NET - Nama Gregorius Paulus Afrisal menjadi kebanggaan belakangan ini. Pelajar Kelas XI SMAK Frater…

1 hari ago