KUPANG, DELEGASI.NET – Semua bermula dari sebuah perjalanan kecil yang tak pernah direncanakan. Pertengahan tahun 1996, di sebuah desa perbatasan Ngada dan Manggarai, dua gadis remaja berjalan kaki belasan kilometer hanya untuk membeli garam. Tak seorang pun menyangka, langkah sederhana itu kelak mengubah jalan hidup salah satunya—Maria Elisabeth Nafianda—yang kini dikenal sebagai Suster Maria Elisabeth Nafianda, Cp .
Perjalanan Membeli Garam
Hari itu, mereka berangkat dari Runus, sebuah kampung kecil di Desa Langgasai, Kecamatan Elar Selatan. Sang kakak, Mantri Theresila Harni—akrab disapa Mantri Sil (alm)—meminta kedua adiknya, Emiliana Avelina dan Maria Elisabeth Nafianda, untuk membeli garam di salah satu kios di kampung Wukir, Desa Sangan Kalo, di perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur.
“Sekalian nanti mampir di Paroki St. Maximilianus Kolbe, ketemu RD. Simon Nama, Pastor Paroki. Kalau tidak bisa pulang hari ini, bermalam saja di pastoran,” pesan sang kakak, yang kala itu menjadi kepala Pustu Runus.

Mereka pun menapaki jalan setapak yang dikelilingi hutan dan rerumputan. Tak ada yang istimewa. Namun, perjalanan membeli garam itu ternyata menjadi titik awal panggilan hidup membiara bagi Elisabeth.
Pertemuan yang Mengubah Hidup
Setibanya di Wukir, Pastor Paroki RD. Simon Nama ternyata tidak berada ditempat. Beliau sedang bertugas di Bajawa – Ibukota Kabupaten Ngada. Hanya ada Frater Fidelis Den yang menyambut mereka. Kedua gadis itu pun bermalam di pastoran, sambil menunggu kedatangan sang pastor yang baru tiba keesokan sorenya.
Di meja makan malam itu, pertanyaan sederhana terlontar dari mulut RD. Simon Nama, yang kemudian menjadi titik balik hidup Elisabeth.
“Engkau ini sudah tamat SMA, tidak kuliah, tidak menikah. Cantik begini, apa maumu?” tanya RD. Simon Nama sambil menatap penuh selidik. Pertanyaan RD. Simon Nama seperti itu cukup mewakili betapa dekatnya hubungan antara RD. Simon Nama dengan keluarga Bapak Petrus Rewun dan Mama Maria Tima yang terjalin selama itu hingga sekarang.

Pertanyaan itu menusuk batin. Tanpa ragu, meski hatinya berdebar, Elisabeth menjawab lantang: “Saya mau masuk suster saja, Romo.”
RD Simon Terperangah, tak menyangka jawaban ketus dan tegas itu keluar dari mulut puteri pemalu itu.
“Saya kira kakaknya, Emilia Aveliana, yang mau masuk biara. Ternyata justru Elisabeth yang menjawab begitu tegas. Saat itu saya merasa Tuhan sendiri yang berbicara lewat mulutnya,” kenang RD Simon Nama.
Pernyataan, RD. Simon Nama yang saat ini menjadi pastor Kevikep Borong memang beralasan. Nun jauh sebelumnya, ketika kedua remaja puteri ini masih dibangku SMA, Kakaknya Emiliana Avelina sering berdendang kepada kedua orang tua dan RD. Simon Nama kalau dirinya kelak hendak masuk biara suster.
Suster Elisabeth sendiri malah tidak pernah mengungkap keinginannya itu kepada kedua orang tuanya bahkan kepada RD.Simon Nama. Itu pasalnya, malam itu RD. Simon Nama kaget mendengar jawaban tegas dari Suster Elisabeth.
Kerinduan yang Dijawab Doa
Sejak lama, keluarga Elisabeth menyimpan kerinduan rohani. Ayah dan ibunya, Petrus Rewun (alm) dan Maria Tima, sering berdoa agar ada anak mereka yang terpanggil menjadi imam atau suster.
Ketika akhirnya Elisabeth menyatakan niatnya, kedua orang tuanya hanya bisa terharu. Ayahnya memeluk erat dan berbisik dalam tutur Rajong:
“Anak, inilah yang kami rindukan sejak engkau ada di dunia. Kami merindukan salah satu dari kalian ada yang masuk Biara Susteran atau Pastor. Doa kami akhirnya dijawab,” kata Bapak Petrus Rewun (Alm), seperti dituturkan ulang Suster Maria Elisabeth Nafianda, Cp.
Sang ibu, Maria Tima, juga menuturkan dengan mata berkaca-kaca: “Saya melepas dia dengan doa. Bagi saya, itu bukan kehilangan, tapi sebuah persembahan untuk Tuhan.”
Dari Nunur ke Ruteng, Lalu Roma
Keesokan paginya setelah bertemu dengan RD. Simon Nama malam itu, dua gadis remaja itu tidak balik ke Runus di kakanya Mantri Sil. RD. Simon Nama segera membawa mereka ke Ruteng, memperkenalkannya Elisabeth kepada Mother Sr. Etine Copman, Cp, Pimpinan Kongregasi Biara Pasionis St.paulus dari Salib di Pau Dongang – Ruteng. Tak butuh waktu lama, pintu biara terbuka untuknya.
Setelah beberapa bulan masa bina, Elisabeth dipilih sebagai salah satu calon yang dikirim ke Italia. Dari empat kandidat, hanya dirinya yang lolos seleksi ketat pimpinan pusat Kongregasi di Roma.
Akhir 1996, gadis asal Nunur itu terbang ke Roma, kemudian melanjutkan formasi di komunitas Pasionis di Firence. Dunia yang jauh dari kampung halamannya kini menjadi rumah baru bagi panggilan hidupnya.
Kaul Pertama dan Karya Internasional
Empat tahun kemudian, pada tahun 2000, Elisabet mengikrarkan kaul pertamanya. Sejak itu, jalan pengabdiannya terbentang hingga ke berbagai negara di Eropa.
Firence, Italia (1996–2005): terlibat dalam pelayanan pastoral, merawat lansia, mendampingi anak-anak yatim, keluarga migran, dan kaum muda.
Syukur dalam Tahun Yubileum
Perayaan 25 tahun hidup membiara, atau Yubileum Perak, dirayakan sederhana namun penuh makna di kampung halamannya, Nunur, pada 20 Agustus lalu. Misa syukur dipimpin oleh RD Simon Nama, kini Pastor Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng.
Tak ada pesta meriah, hanya doa dan kebersamaan. Usai Misa, keluarga dan sahabat makan bersama di rumah orang tuanya.
Maklum suasana duka masih menyelimuti keluarga itu. Kakak sulung mereka, Thresila Harni baru saja meninggal dunia seminggu sebelumnya.
Walaupun tanpa acara meriah seperti layaknya para biarawan/biarawati yang melakukan syukuran besar besaran saat 25 tahun membiara, namun perayaan Misa syukur saat itu sangat anggun penuh sakral.
Dalam moment misa syukuran itu, Suster menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk sumbangan untuk pembangunan Kapela St. Martinus Nunur, yang saat itu sedang menggalang dana untuk merenovasi Kapela tersebut.
Menurut Suster Maria Elisabeth Nafianda, CP, sumbangan ini bagian dari kepeduliannya terhadap Stasi sederhana sebagai tempat bersemainya bibit panggilan rohaninya.
“Sharing is Caring – Berbagi adalah Peduli”. Saya iklas memberi, bukan dari kelebihan melainkan dari kekurangan dan kepedulian saya terhadap Kapela ini,” ungkap Suster Elisabeth merendah.
Emiliana Avelina, sang kakak, menuturkan dengan mata berkaca: “Saya dulu yang bercita-cita, tapi justru Isa yang dipilih. Saya percaya itu rencana Tuhan. Dan saya bangga, karena Isa tetap setia sampai hari ini.”
Seorang sahabat masa kecil, Yohanes Tobi, juga mengenang: “Isa itu pendiam sekali. Dulu kami tidak percaya kalau dia bisa jadi suster. Tapi lihat sekarang, dia melayani sampai ke Eropa. Itu luar biasa.”

Suster Elisabet sendiri hanya tersenyum dan berkata lirih: “Hidup membiara bukan tentang saya, tapi tentang Allah yang memanggil. Saya hanya berusaha setia.”
Dalam sambutanya, Suster Maria Elisabeth Nafianda, Cp bersyukur Pada Tuhan atas anugerah yang luar biasa yang beliau terima selama ini.
Perjalanan 25 Tahun hidup membiara bukan hal yang mudah. Tentu perjalanan sangat melelahkan dan tertatih – tatih. “Namun Tuhan sungguh baik. Tuhan selalu menuntun saya hingga saat ini.”

‘Saya juga menyampaikan terima kasih saya kepada RD Simon Nama yang selalu membimbing saya hingga saya seperti ini. Bagi saya tanpa RD Simon Nama, saat ini saya tidak dapat berdiri ditempat ini. Tuhan sendiri yang bekerja melalui RD Simon Nama,”.
Suster Maria Elisabeth juga bersyukur, Karena Mama Maria Tima masih tegak berdiri disampingnya. Walaupun ayah tercinta Petrus Rewun telah lama pergi jauh dan tak kembali. Namun diyakini doa sepanjang hayat kedua orang tua dan keluargalah yang membuatnya bisa bertahan hingga dititik ini.
Dia juga masih mengingat kedua guru SD nya, Bapak Robertus Mbata dan Kandidius Nabi yang saat itu hadir bersama keluarga.
Kedua sosok guru ini menjadi motivasi tersendiri baginya untuk terus melangkah dan berjuang hidup dalam membiara hingga usianya memasuki 25 tahun.
“Di sini ada dua orang guru saya. Pak Kandi dan Pak Robert. Terima kasih buat dua sosok ini yang menjadi inspirasi buat saya. Dan karena doa guruku berdua saya hari ini bisa berdiri disini,”
Jejak Sunyi yang Jadi Teladan
Kisah Suster Elisabet adalah potret bagaimana Tuhan bekerja dalam kesederhanaan—melalui perjalanan membeli garam, percakapan biasa, dan doa keluarga.
Dua puluh lima tahun bukan sekadar angka. Itu adalah jejak kesetiaan seorang perempuan Flores yang rela meninggalkan kampung halamannya, keluarganya, dan mimpinya, demi sebuah panggilan yang melampaui logika.

“Di manapun saya ditempatkan, selalu saya ingat pesan Bapa dan Mama saya: jangan pernah lupa asalmu, jangan sombong, dan tetaplah melayani dalam kesederhanaan,” ucapnya penuh keyakinan.
Kini, 25 tahun setelah langkah kecil itu, perjalanan yang dimulai dari sebuah kios garam di Wukir telah menuntun Sr. Maria Elisabet Nafianda, Cp menjadi bagian dari Gereja universal—setia mengabdi dalam kasih, dalam diam, dalam kesetiaan yang tak pernah padam.
Profil Singkat
Nama Lengkap: Sr. Maria Elisabet Nafianda, CP
Nama Kongregasi : Kongregasi Pasionis St. Paulus dari Salib.
Nama Religius: Sr. Maria Elisabeth Nafianda, Cp dari Tritunggal Maha Kudus.
Panggilan: Sr. Isa/Elisabeth
Tempat/Tanggal Lahir: Nunur, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur
Orang Tua: Petrus Rewun (alm) dan Maria Tima
Anak ke – 8 dari 11 bersaudara
1. Theresila Harni (Alm)
2. Yosefina Munda
3. Adeleide Fisensa Ade
4. Engelbertus Daudenda
5. Maria Floriana Nirma
6. Ferdinandus Masmur
7. Emilianan Avelina
8. Sr.Maria Elisabeth Nafianda, Cp
9. Fransiskus Hironimus Eman
10. Fabiola Analindung
11. Maxentius Armin Nyaman
Tahun Masuk Biara: 1996, Biara Pasionis St. Paulus dari Salib di Kelurahan Pau- Dongang – Ruteng Flores
Kaul Pertama: 2000, Firence – Italia
Motto: Tuhan Engkau Tahu Segala Sesuatu. Engkau Tahu bahwa Aku Mencintai Engkau
Yubileum 25 Tahun Hidup Membiara: 2025
// Delegasi(Hermen Jawa)
EDITOR: HERMEN JAWA